Kebudayaan Barat dan Timur
1. Kebudayaan Barat
Kebudayaan Barat yang ditulis
sebagai western culture adalah himpunan sastra, sains, politik, serta
prinsip-prinsip artistic dan filosofi yang membedakannya dari peradaban lain.
Sebagian besar rangkaian tradisi dan pengetahuan tersebut umumnya telah
dikumpulkan dalam konon Barat. Istilah ini juga telah dihubungkan dengan
negara-negara yang sejarahnya amat dipengaruhi oleh imigrasi atau kolonisasi
orang-orang Eropa, misalnya seperti negara-negara di benuaAmerika dan
Australia, dan tidak terbatas hanya oleh imigran dari Eropa Barat. Eropa Tengah
juga dianggap sebagai penyumbang unsur-unsur asli dari kebudayaan Barat.
Ada 3 ciri dominan kebudayan Barat
yaitu (1) penghargaan terhadap martabat manusia. Hal ini bisa dilihat pada
nilai-nilai seperti demokrasi, institusisosial, dan kesejahteraan ekonomi; (2)
kebebasan. Di Barat anak-anak berbicara terbuka di depan orang dewasa,
orang-orang berpakaian menurut selera masing-masing, mengemukakan pendapat
secara bebas, dan tidak membedakan status sosial dan sebagainya; dan (3)
penciptaan dan pemanfaatan teknologi seperti pesawat jet, satelit, televisi,
telepon, listrik, computer dan sebagainya. Orang Barat menekankan logika dan
ilmu serta cenderung aktif dan analitis.
Pikiran masyarakat Barat cenderung
menekankan dunia objektif daripada rasa, sehingga hasil pola pikirnya
membuahkan sains dan teknologi. Filsafat Barat telah dipusatkan kepada dunia
rasio. Oleh sebab itu, pengetahuan mempunyai dasar empiris yang kuat. Sikap
aktif dan rasional di dunia Barat lebih unggul dibandingkan dengan pandangan
hidup tradisional, baik filsafat maupun agama yang terkesan mengalami
kemunduran. Cara berpikir dan hidup orang Barat lebih terpikat oleh kemajuan
material, sehingga tidak cocok dengan cara berpikir untuk meninjau makna dunia
dan makna hidup. Barat hidup dalam dunia teknis dan ilmiah, maka filsafat
tradisional dan agama hanya muncul sebagai sistemik ide-ide abstrak tanpa ada
hubungannya dengan kenyataan dan praktek hidup
(Soelaeman, 1987: 50-51).
Pengaruh tradisi dan agama terhadap
hidup dan pikiran Barat berkurang karena mereka mengunggulkan cara berpikir
analitis rasional. Maka, mereka menganggap nilai-nilai hidup dengan menggunakan
kepekaan hati sebagai suatu yang subjektif dan tidak bermutu. Menurut Anh (dalam
Soelaeman, 1987) ada tiga nilai penting mendasari semua nilai di Barat yaitu
martabat manusia, kebebasan, dan teknologi. Marx (dalam Soelaeman, 1987)
menjelaskan bahwa Barat menganggap manusia adalah ukuran bagi segalanya.
Artinya, manusia memiliki kemampuan untuk menyempurnakan hidupnya dengan syarat
bertitik tolak dari rasio, intelek, dan pengalaman. Sejarah pemikiran tersebut
berasal dari Protogoras, Bapak Humanisme, yang kemudian berkembang pesat di
Barat.
Barat beranggapan bahwa manusia
nilainya tidak terukur oleh apapun. Dengan demikian, manusia memerlukan respek,
bantuan, dan hormat. Barat memandang manusia sebagai pusat segala sesuatu yang
memiliki kemampuan rasional, kreatif, dan estetik, sehingga kebudayaan Barat
menghasilkan beberapa nilai dasar seperti demokrasi, lembaga sosial, dan
kesejahteraan ekonomi. Dalam tradisi humanistik, kebaikan dan kebenaran dipilih
sendiri oleh manusia. Akibatnya, pemikiran ini semakin berkembang dan diperluas
ke bidang estetika, moral, dan agama. Agama di kalangan Timur merupakan sumber
nilai, di Barat dicampakkan. Barat berpendapat bahwa kebajikan agama tidak
berbeda dengan kebajikan kodrati manusia. Barat ingin membangun agama baru yang
selaras dengan ilmu pengetahuan. Di Barat kepuasan diperoleh melalui usaha-usaha
atau perhatian terhadap benda, kenikmatan dan keselarasan dunia yang terkadang
menimbulkan persaingan dan kekacauan di masyarakat (Soelaeman, 1987: 51-52).
Soeleman (1987: 52-53) menjelaskan
bahwa teknologi Barat membuat kagum dan iri bangsa Timur. Tidak sedikit bangsa
Timur yang menjadi korban “penjajahan” teknologi Barat karena rasa kagum
tersebut. Filsafat berdiri di kaki sendiri tidak tahan godaan terhadap kemajuan
teknologi Barat, sehingga bangsa Timur tunduk kepada teknologi. Hasil teknologi
Barat melebihi kebutuhan manusia, bahkan mengganggu kepentingan manusia karena
terlalu cepat mengarah ke depan (future shock). Cepatnya teknologi Barat
sulit diikuti imajnasi, sehingga banyak benda yang cepat tidak dipakai. Di
Barat tidak sedikit manusia yang dikuasai oleh perubahan teknologi, sehingga
menimbulkan dampak kehilangan arah, kepercayaan terhadap diri sendiri,
nilai-nilai, dan iman. Selain itu, manusia yang dikuasai oleh teknologi dapat
mengakibatkan kecemasan, tekanan, hidup acuh tak acuh, terganggu kesehatan
mental. Akibatnya, teknologi yang tadinya meningkatkan nilai eksistensi
manusia, sekaligus merendahkan martabat manusia. Ukuran dalam budaya teknologi
sekarang adalah kultur orang, kuantitas (produksi yang melimpah), kultur buatan
(artifisial), dan kontrol menyeluruh (kemahakuasaan sistem).
Anh (dalam Soelaeman, 1987) tradisi humanistik di Barat bebentuk penghargaan
terhadap martabat manusia sebagai suatu yang otonom, merdeka, dan rasional,
menunjang nilai-nilai demokrasi, lembaga sosial, dan kesejahteraan teknologi.
Nilai-nilai lain seperti kebebasan, perekonomian, dan teknologi pun ikut
berkembang. Kemajuan teknologi menghasilkan dinamisme, perencanaan, organisasi,
manajemen, keberanian berusaha, penguasaan materi, sekaligus menggerogoti
kehidupan sosial dan pribadi. Orang barat lebih condong menekankan dunia
empiris, sehingga mereka maju dalam sains dan teknologi. Menurut konsep Barat,
manusia dan alam adalah terpisah. Alam sebagai dunia luar harus diekploitasi oleh
manusia. Hal ini sering tersurat dalam kara-kata: menaklukkan luar angkasa,
alam, dan hutan rimba. Kata-kata tersebut dibuktikan dengan problema yang
terjadi di Barat seperti polusi udara dan air. Singkatnya, Barat memiliki
persepsi yang berbeda mengenai nilai pengetahuan, keinginan, watak, proses
waktu, dan sikap terhadap alam.
2. Kebudayaan Timur
Kebudayaan Timur adalah lawan dari
kebudayaan Barat. Orang Timur mempunyai manner yang khas yang
membedakannya dengan bangsa lain. Bangsa Timur sangat terkenal dengan hospitality atau
keramahtamahannya terhadap orang lain bahkan orang asing sekalipun.
Bagaimana mereka saling memberikan salam, tersenyum atau berbasa basi
menawarkan makanan atau minuman. Bangsa Timur juga sangat menjunjung tinggi
nilai-nilai atau norma-norma yang tumbuh di lingkungan masyarakat mereka.
Contohnya, saja nilai kesopanan. Hal yang paling dominan dari kebudayaan Timur
adalah adat istiadat yang masih dipegang teguh. Walaupun adat istiadat saat ini
mulai pudar dan berubah. Selain itu, hal yang dominan adalah konsep gotong
royong, kebersamaan menjadi hal yang paling utama.
Soelaeman (1987: 53-54) menjelaskan
bahwa nilai budaya Timur banyak bersumber pada agama-agama yang lahir di dunia
Timur. Manusia-manusia Timur menghayati hidup dan seluruh eksistensinya. Orang
Timur tidak berpikir untuk menguasai dunia dan hidup secara teknis karena
mereka lebih menyukai intuisi daripada akal budi. Kepribadian manusia Timur
tidak terletak pada kemampuan inteleknya, melainkan pada hatinya. Nilai budaya
Timur dipengaruhi oleh ajaran Hindu dan Budha membuat kebijaksanaan Timur
besifat kontemplatif yaitu tertuju kepada tinjauan kebenaran. Dengan demikian,
berpikir kontemplatif merupakan puncak perkembangan manusia.
Pemikir Timur lebih menekankan segi dalam dari jiwa dan realitas dunia empiris
dianggap sebagai sesuatu yang hanya lewat. Kebudayaan Timur lebih menekankan
disiplin mengendalikan diri, sederhana, tidak mementingkan dunia, bahkan
menjauhkan diri dari dunia. Suatu hal baik menurut Timur bukan hanya bendawi
tetapi rohani; sesuatu yang diperoleh melalui pencarian zat tertentu, baik di
dalam maupun di luar tubuh manusia. Orang Timur mencari keharmonisan dengan
alam. Mereka ingin mendapatkan keselamatan dan kebebasan diri dari penderitaan
dunia. Ide keselamatan ini membentuk mentalitas, teori, dan praktek bangsa
Timur. Jalan untuk mencapai ini semua tidak terletak pada akal budinya,
melainkan melalui meditasi, tirakat, dan mistik (Soelaeman, 1987: 54).
Kebudayaan Timur tidak hanya bersumber pada ajaran agama tetapi ide abstrak
atau pun simbolik pun dapat terwujud kongkret dalam praktek kehidupannya. Hal
ini terlihat pada saat orang Timur menegakkan norma yang ada. Pencarian ilmu
tidak hanya untuk menambah pengetahuan kognitif saja tetapi mencari
kebijaksanaan. Dalam menghadapi kenyataan, orang Timur memadukan pengetahuan,
intuisi, pemikiran yang kongkret, simbolik, dan kebijaksanaan. Sikap orang
Timur terhadap alam adalah menyatu secara harmonis; tidak memaksakan diri atau
mengeksploitasi alam karena alam merupakan bagian tidak terpisahkan dari
manusia. Jika alam binasa, manusia pun akan binasa. Nilai kebudayaan dalam
kehidupan Timur yang tertinggi dating dari dalam manusia itu sendiri, seperti nrimo
kenyataan, mencari ketenangan, belajar dari pengalaman, dan menyatukan diri.
Terkadang nilai spiritual dalam itu membuat sikap memuliakan kesendirian dan
kemiskinan, menghindar membangun dunia, hidup sederhana dan dekat dengan
kehidupan alami. Singkatnya, Timur menginginkan kekayaan hidup, bukan kekayaan
benda, tenang tenteram, menyatu diri, fatalisme, pasivitas, dan menarik diri
(Soelaeman, 1987: 54-55).
3. Perbedaan Kebudayaan Barat dan Kebudayaan Timur
Budaya Barat
|
BudayaTimur
|
1. Lebih selektif dalam berbagai
bidang.
2. Mempunyai disiplin tinggi.
3. Terus terang dan to the point.
|
1. Kebersamaan dalam
hubungan lebih dipentingkan.
2. Menjaga perasaan orang lain.
3. Sopan santun.
4. Penghargaan terhadap orang yang lebihtua.
5. Adat istiadat yang masih dipegang teguh.
|
4. Sikap Bangsa Indonesia terhadap Kebudayaan Barat
Zaman sekarang adalah zaman asosiasi
antara Timur dan Barat yaitu zaman adanya pencampuran budaya Timur dan Barat.
Ada hubungan antara kedua bangsa tentu mendatangkan dua macam kejadian yaitu
kejadian baik dan kejadian buruk. Tidak ada evolusi (kemajuan) yang tidak
disertai kemunduran dalam sesuatu hal, baik lahir maupun batin. Adapun baik dan
jahatnya sebuah evolusi tergantung pada jalannya asosiasi. Apabila bangsa yang
terkena pengaruh percampuran itu kurang teguh dayanya (hanya meniru belaka
semua keadaan baru), asosiasi itu akan bersifat denasionalisasi (hilang sifat
kebangsaannya sendiri). Di situlah kelihatan bahwa kultur bangsa tersebut kalah
dengan kultur asing. Hal demikian terjadi karena bangsa yang terkena pengaruh
budaya asing itu masih rendah kulturnya (Dewantara, K. H, 1994: 3)
Menurut Dewantara (1994: 3-4) ada juga asosiasi yang bersifat pertukaran
alat-alat kultur yaitu kedua bangsa tersebut mempunyai budaya yang sama-sama
tinggi. Hal demikian tentu telah terjadi evolusi sebaik-baiknya. Itulah proses
evolusi yang sebaiknya dicari. Kejadian-kejadian jahat pun tidak dapat
dielakkan dalam proses pencampuran dua budaya. Sebagai contoh, bangsa Indonesia
sendiri mengalami kekerasan tingkah laku sebagai buah pergaulan dengan bangsa
asing yaitu menghina dan merendahkan seni dan bahasa sendiri karena terlampau gandrung
pada hidup kebaratan. Bangsa Indonesia meninggalkan kepandaian gending
dan mengalihkan perhatian kepada jazz atau dansa yang dilakukan dengan
berpeluk-pelukan oleh laki-laki dan perempuan di muka pubilk. Dengan melakukan
hal tersebut, ini berarti merendahkan agama karena pengaruh materialisme Eropa
(cinta pada barang lahir).
Alat untuk mengurangi pengaruh buruk budaya asing adalah pendidikan. Pendidikan
paling penting adalah pendidikan nasional, pendidikan untuk rakyat yang
mengindahkan kultur dan dasar-dasar kehidupan bangsa Indonesia. Bangsa
Indonesia tidak boleh meninggalkan keluhuran budi (idealisme) sedikit pun.
Bangsa Indonesia tidak boleh menjual keluhuran budi bangsa guna memperoleh
penghidupan enak untuk badan sendiri. Masyarakat Indonesia tidak boleh menyukai
segala alat-alat penghidupan meskipun haram atau najis, asal senang, enak, dan
sama dengan orang-orang Barat (Dewantara, K. H, 1994: 4-5). Masyarakat Indonesia
perlu mengindahkan nilai dan norma yang ada dalam kebudayaan Indonesia.
Walaupun demikian, menurut Pelly
(dalam Maran) menjelaskan bahwa ada pengaruh positif kebudayaan yaitu (a)
memperkaya kehidupan dalam bidang seni musik, lukis, busana, sastra, drama, dan
lain-lain; (b) mengidentifikasi nilai-nilai universal untuk mengembangkan
kebudayaan tradisional; (c) mendorong dan memberi pola untuk pendidikan
nasional; (d) memperluas wawasan berpikir dan membantu dalam pengembangan
hubungan antar bangsa; dan (e) mendorong tumbuhnya sikap dan perilaku mandiri
yang sudah berakar dalam kebudayaan lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Dewantara, K. H. (1994). Karya Ki
Hadjar Dewantara bagian II kebudayaan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan
Tamansiswa.
Soelaeman, M. M. (1987). Ilmu
budaya dasar suatu pengantar. Bandung: PT. Refika Aditama.
Maram, R. R. (2000). Manusia&kebudayaan
dalam perspektif ilmu budaya dasar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
source: https://ayundasilviadewi.wordpress.com/2015/06/02/kebudayaan-barat-dan-kebudayaan-timur/
Comments
Post a Comment